Where it all begins

Everyone has to start from somewhere...and this is my beginning

May 29, 2011

Talk about family (1)


This story I picked up from my husband who had direct encounter with the incident.

On a Saturday morning...
A street singer just happened to drop by our home and well, started singing. My son, Opal, all excited asked to daddy for small change. “No, just let him go along to other houses as usual and asked for small change there,” Dad replied casually. Opal then flashed out of the room while daddy’s eyes still on his work. Daddy heard a brief commotion but dismissing it and went on with his work.

A while after...
Dad: So, did you give the money?

Opal: Yea...(eyes on the computer, playing online game)

Dad: How much did you give him anyway?

Opal: A hundred...two of them (replied in a very cool state)

Owkay, wait. I was gasping when hearing the story...whaat? a hundred, two of them? two hundred? what?! Rp200,000 for a street singer?!!...WTH?!!

But, that gasping moment was over after my husband explained that it was only Rp200 Opal gave to the street singer. Apparently, Opal took the money from a container filled small changes we had....

And I immediately feel sorry for the street singer (because custom here would have given him at least Rp500 or Rp1,000).

There you have it, my son the philanthropist :D

May 24, 2011

Sore Tugu Pancoran

Iwan Fals dengan lirik lagunya yang menggelisahkan:

Si Budi kecil kuyup menggigil
Menahan dingin tanpa jas hujan
Disimpang jalan tugu pancoran
Tunggu pembeli jajakan koran
Menjelang maghrib hujan tak reda
Si Budi murung menghitung laba
Surat kabar sore dijual malam
Selepas isya melangkah pulang

Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu
Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu
Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu
Dipaksa pecahkan karang lemah jarimu terkepal

Cepat langkah waktu pagi menunggu
Si Budi sibuk siapkan buku
Tugas dari sekolah selesai setengah
Sanggupkah si Budi diam di dua sisi

Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu
Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu
Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu
Dipaksa pecahkan karang lemah jarimu terkepal

Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu
Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu
Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu
Dipaksa pecahkan karang lemah jarimu terkepal

May 17, 2011

Sebuah keprihatinan

Radikalisme ditengarai sedang berkembang di negara ini. Dari survey terakhir yang dilakukan oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP), 48,9 persen siswa dan 28,2 persen guru pendidikan agama Islam di SMP dan SMA menyatakan bersedia terlibat dalam aksi kekerasan terkait agama dan moral. Sebesar 25,8 persen siswa dan 21,1 persen guru menganggap Pancasila tidak lagi relevan. Menurut Tempo Interaktif dalam laporan yang disiarkan April 26, hasil itu adalah hasil penelitian mulai Oktober 2010 hingga Januari 201 dari 59 sekolah negeri dan swasta. Tidak disebutkan dimana tepatnya survey ini diambil.

Meskipun kelihatan wah, kenapa hasil ini tidak terlalu mengejutkan buat saya ya? Mungkin karena selama ini mata, telinga saya sudah jadi begitu terbiasa dengan kekerasan yang dibumbui agama. Kekerasan yang dibuat oleh orang-orang naïf yang kurang ilmu tapi sok tahu. Mereka yang hobi memaksakan kehendak.

Terus terang melihat hasil survey ini perasaan ini campur aduk antara kasihan, sedih dan geram. Sudah sampai demikiankan kepesimisan anak bangsa ini? Sedemikian parahkan tingkat intoleransi kita? Sedih kalau sudah sampai berpikir kesitu. Bahwa bangsa ini bergerak menuju kehancurannya.

Sulitkah bagi kita untuk menerima kenyataan bahwa kita di Indonesia ini dipersatukan oleh perbedaan? Berpulau-pulau negeri ini, begitu banyak bahasa, suku, agama dan ras. Tapi itulah kita, Indonesia.

Bahkan para pendiri bangsa ini punya banyak perbedaan. Tapi toh mereka bisa mengesampingkan itu semua dan berangkulan demi tercapainya Indonesia satu dan merdeka. Kita sebagai anak cucunya, sebagai generasi penerus semestinya bisa meniru teladan mereka. Mengumpulkan persamaan, bukannya malah memperbesar perbedaan.

Tapi pesan yang lebih dalam bagi saya dalam hasil survey ini adalah mungkin karena secara tidak langsung survey ini mengatakan bahwa anak-anak di negeri ini mantap menyatakan mereka sudah tidak percaya negara bisa mengatasi permasalahan yang ada dan mereka harus turun tangan membersihkan.

Tapi sayangnya, kita sudah kehabisan bapak bangsa yang bisa memberikan teladan. Sehingga tak tahu lagi mesti kemana kita harus meniru. Semua penuh kepalsuan. Pencitraan. Tak ada yang tulus. Bagaimana kita bagaikan yatim piatu yang serba kehilangan. Pemerintah terlalu sibuk ngurus politik. Lupa kalau masih ada rakyatnya yang kelaparan, pengangguran dan miskin.

Saya ini kaum pejalan kaki, kaum pengguna angkot, kendaraan umum. Tapi kalau saya lagi jalan di jalan raya, hati saya menangis. Karena untuk jalan kaki saja sudah tak bisa, kalah sama pedagang kaki lima. Pemerintah yang tak bisa bikin trotoar yang layak bagaimana bisa dipercaya? Negeri ini sudah lewat enam dekade, sudah berganti-ganti pemimpin…tapi tetap belum nyaman berjalan kaki di jalan raya.

Jadi, begitulah. Saya bisa mengerti kenapa adik-adik kita di SMA bahkan guru mereka jadi begitu pesimis dengan bangsa ini.