Where it all begins

Everyone has to start from somewhere...and this is my beginning

May 17, 2011

Sebuah keprihatinan

Radikalisme ditengarai sedang berkembang di negara ini. Dari survey terakhir yang dilakukan oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP), 48,9 persen siswa dan 28,2 persen guru pendidikan agama Islam di SMP dan SMA menyatakan bersedia terlibat dalam aksi kekerasan terkait agama dan moral. Sebesar 25,8 persen siswa dan 21,1 persen guru menganggap Pancasila tidak lagi relevan. Menurut Tempo Interaktif dalam laporan yang disiarkan April 26, hasil itu adalah hasil penelitian mulai Oktober 2010 hingga Januari 201 dari 59 sekolah negeri dan swasta. Tidak disebutkan dimana tepatnya survey ini diambil.

Meskipun kelihatan wah, kenapa hasil ini tidak terlalu mengejutkan buat saya ya? Mungkin karena selama ini mata, telinga saya sudah jadi begitu terbiasa dengan kekerasan yang dibumbui agama. Kekerasan yang dibuat oleh orang-orang naïf yang kurang ilmu tapi sok tahu. Mereka yang hobi memaksakan kehendak.

Terus terang melihat hasil survey ini perasaan ini campur aduk antara kasihan, sedih dan geram. Sudah sampai demikiankan kepesimisan anak bangsa ini? Sedemikian parahkan tingkat intoleransi kita? Sedih kalau sudah sampai berpikir kesitu. Bahwa bangsa ini bergerak menuju kehancurannya.

Sulitkah bagi kita untuk menerima kenyataan bahwa kita di Indonesia ini dipersatukan oleh perbedaan? Berpulau-pulau negeri ini, begitu banyak bahasa, suku, agama dan ras. Tapi itulah kita, Indonesia.

Bahkan para pendiri bangsa ini punya banyak perbedaan. Tapi toh mereka bisa mengesampingkan itu semua dan berangkulan demi tercapainya Indonesia satu dan merdeka. Kita sebagai anak cucunya, sebagai generasi penerus semestinya bisa meniru teladan mereka. Mengumpulkan persamaan, bukannya malah memperbesar perbedaan.

Tapi pesan yang lebih dalam bagi saya dalam hasil survey ini adalah mungkin karena secara tidak langsung survey ini mengatakan bahwa anak-anak di negeri ini mantap menyatakan mereka sudah tidak percaya negara bisa mengatasi permasalahan yang ada dan mereka harus turun tangan membersihkan.

Tapi sayangnya, kita sudah kehabisan bapak bangsa yang bisa memberikan teladan. Sehingga tak tahu lagi mesti kemana kita harus meniru. Semua penuh kepalsuan. Pencitraan. Tak ada yang tulus. Bagaimana kita bagaikan yatim piatu yang serba kehilangan. Pemerintah terlalu sibuk ngurus politik. Lupa kalau masih ada rakyatnya yang kelaparan, pengangguran dan miskin.

Saya ini kaum pejalan kaki, kaum pengguna angkot, kendaraan umum. Tapi kalau saya lagi jalan di jalan raya, hati saya menangis. Karena untuk jalan kaki saja sudah tak bisa, kalah sama pedagang kaki lima. Pemerintah yang tak bisa bikin trotoar yang layak bagaimana bisa dipercaya? Negeri ini sudah lewat enam dekade, sudah berganti-ganti pemimpin…tapi tetap belum nyaman berjalan kaki di jalan raya.

Jadi, begitulah. Saya bisa mengerti kenapa adik-adik kita di SMA bahkan guru mereka jadi begitu pesimis dengan bangsa ini.

No comments:

Post a Comment